Penulis : SAHRONI, S.H., M.H. (Praktisi Hukum Jambi)
SELOKO.ID, Opini- Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia adalah sebuah capaian historis yang layak dirayakan.
Kita merdeka bukan hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu keterasingan sebagai bangsa yang lama tidak memiliki hak menentukan nasib sendiri.
Namun, di balik euforia itu, ada pertanyaan mendasar yang selalu menghantui nurani, apakah kemerdekaan ini benar-benar telah menyentuh rasa keadilan rakyat, khususnya dalam ranah penegakan hukum?.
Sebagai seorang advokat yang menyaksikan langsung denyut nadi persidangan, tumpukan berkas perkara, hingga tangis klien yang merasa dizalimi sistem, saya harus jujur mengatakan bahwa hukum kita masih sering terasa jauh, bagai keadilan yang melayang di atas awan.
Indah didengar, diagungkan dalam pidato, tetapi sulit dijangkau oleh masyarakat kecil yang membutuhkan kepastian dan perlindungan.
Konstitusi kita menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya, hukum kerap kali terjebak pada formalitas prosedural, bukan substansi keadilan. Kita masih sering menyaksikan hukum berpihak pada mereka yang punya akses, kekuasaan, dan uang.
Sementara rakyat biasa, yang barangkali hanya mengerti hukum sebatas kata “adil”, harus berhadapan dengan sistem yang dingin, berliku, dan sering kali menutup pintu.
Di ruang sidang, saya kerap melihat bagaimana seseorang yang seharusnya mendapat keringanan justru diperlakukan seolah-olah ia kriminal kelas kakap.
Sebaliknya, ada pihak yang jelas-jelas melukai kepentingan publik, tetapi bisa bebas melenggang hanya karena memiliki “daya tawar” di luar hukum.
Inilah paradoks penegakan hukum di negeri ini keadilan dijanjikan untuk semua, tetapi terasa eksklusif bagi segelintir orang.
Profesi advokat seharusnya menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan. Undang-Undang Advokat bahkan menegaskan bahwa advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri.
Namun kebebasan dan kemandirian itu tidak jarang hanya menjadi retorika indah di atas kertas.
Dalam praktik, advokat sering dihadapkan pada dua pilihan pahit membela keadilan yang sesungguhnya dengan segala risiko yang mengintai, atau tunduk pada “aturan permainan” tidak tertulis yang menguntungkan pihak kuat.
Advokat tentu tidak menyerah begitu saja. Namun sering kali, di titik tertentu, saya merasa kami hanya bisa berteriak di ruang hampa. Suara kami keras, tetapi gema keadilan itu seolah terpantul di dinding tebal birokrasi dan kepentingan.
Mengapa saya menyebut keadilan itu berada di atas awan? Karena ia tampak indah dari bawah, seakan bisa diharapkan, tetapi nyatanya sulit dijangkau.
Keadilan masih menjadi jargon, bukan kenyataan. Hukum lebih sibuk menjaga kepentingan formal ketimbang merangkul rasa keadilan substantif.
Di titik inilah, profesi advokat sering kali merasa seperti berjalan di jalan sempit. Kami tahu bahwa hukum semestinya melayani rakyat, tetapi kami juga sadar bahwa sistem yang ada tidak selalu berpihak.
Maka, kami dipaksa memilih antara melawan arus dengan risiko tenggelam, atau mengikuti arus sambil berharap suatu saat akan ada perubahan besar.
Delapan puluh tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momentum refleksi. Kita tidak cukup hanya berbangga pada label sebagai negara hukum, tetapi harus berani bertanya apakah hukum sudah benar-benar membumi, menyentuh rasa keadilan rakyat, atau masih melayang di langit yang jauh.
Membumikan keadilan berarti menjadikan hukum sebagai alat yang manusiawi, tidak sekadar prosedural.
Hukum harus hadir di pasar-pasar, di desa-desa, di ruang keluarga yang sederhana, bukan hanya di gedung pengadilan megah atau seminar akademik. Untuk itu, reformasi peradilan tidak bisa lagi hanya bersifat kosmetik.
Ia harus menyentuh mentalitas para aparat penegak hukum hakim, jaksa, polisi, bahkan advokat itu sendiri. Integritas mereka adalah syarat mutlak agar hukum tidak lagi dilihat sebagai permainan elite. (*)