Oleh: Nazli, Pengamat Sosial dan Politik Jambi
SELOKO.ID, Opini- Nota Pengantar KUA-PPAS APBD 2026 yang disampaikan Gubernur Jambi, Al Haris pada rapat paripurna di DPRD Provinsi Jambi, Rabu 1 Oktober 2025 kembali menunjukkan wajah klasik tata kelola anggaran daerah: penuh janji prioritas, tetapi minim kejelasan arah dan strategi.
Pendapatan daerah justru ditargetkan turun hampir 21 % dibandingkan tahun sebelumnya, sementara belanja tetap dipatok tinggi. Akibatnya, APBD sejak awal sudah dirancang defisit dan ditutup dengan pembiayaan Daerah. Cara ini bukan solusi, tetapi menambah beban fiskal di masa depan.
Belanja pegawai masih mendominasi. Separuh anggaran operasional tersedot untuk kebutuhan rutin birokrasi, sementara ruang fiskal untuk pembangunan nyata bagi rakyat semakin menyempit. Apa artinya “Pro-Jambi” jika sebagian besar anggaran hanya habis untuk gaji dan tunjangan aparatur?.
Alasan penurunan pendapatan karena regulasi pusat terdengar klise tanpa diikuti strategi konkret mengatasinya. Intensifikasi PAD disebut, tetapi tanpa peta jalan jelas: sektor mana yang potensial, bagaimana meminimalisir kebocoran, dan bagaimana memastikan pajak tidak justru membebani masyarakat kecil.
Proyeksi ekonomi yang optimistis (pertumbuhan 4,8 % – 5,4 %, inflasi terkendali 2,5 %) terasa lebih seperti angan-angan politik ketimbang perhitungan realistis.
Tanpa skenario risiko, APBD Jambi 2026 hanya jadi dokumen optimisme semu.
Minimnya partisipasi publik dan transparansi DPRD menjadi persoalan serius. Anggaran adalah dokumen politik sekaligus moral; jika hanya dibahas di ruang elitis eksekutif-legislatif tanpa melibatkan rakyat, maka jargon “Pro-Jambi” akan berubah menjadi sekadar retorika kosong.
APBD 2026 seharusnya menjadi instrumen pemulihan dan pemerataan kesejahteraan rakyat Jambi, bukan sekadar laporan rutin untuk memenuhi syarat formal. Jika pola lama dipertahankan, publik berhak meragukan komitmen “Pro-Jambi” yang dijanjikan pemerintah Provinsi Jambi.