Oleh : Sahroni Ishak Jammaluddin (Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum/Ilmu Syariah – UIN Jambi)
Di tengah derasnya arus globalisasi, identitas budaya seringkali tergeser oleh kepentingan praktis. Namun bagi masyarakat Melayu Tanjung Jabung Timur, adat istiadat adalah benteng yang menjaga marwah dan jati diri. Adat bukan hanya simbol seremonial, melainkan pedoman hidup yang mengatur etika, tata pergaulan, hingga politik.
Orang tua-tua Melayu selalu mengingatkan, “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah.” Inilah yang membuat adat memiliki kedudukan tertinggi dalam kehidupan masyarakat.
Adat menjadi hukum moral, sosial, bahkan politik. Ketika adat diabaikan, maka sendi kehidupan akan rapuh, politik kehilangan etika, masyarakat kehilangan pegangan, dan generasi muda tercerabut dari akarnya.

Dalam keseharian, orang Melayu menjunjung tinggi sopan santun, musyawarah, dan saling menghormati. Pepatah lama berkata, “Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Inilah cermin solidaritas dan rasa kebersamaan yang seharusnya juga mewarnai kehidupan politik hari ini.
Etika politik sejatinya lahir dari adat. Dalam budaya Melayu, pemimpin dihargai bukan karena kedudukan semata, tetapi karena budi pekerti. Pepatah mengingatkan, “Tinggi tampuk kerana sirih, tinggi adat kerana budi.” Artinya, jabatan hanyalah amanah, sementara nilai moral adalah dasar yang membuat kepemimpinan itu dihormati.
Adat Melayu juga berfungsi sebagai filter terhadap pengaruh luar. Globalisasi memang tak terelakkan, namun adat menjadi penuntun agar modernisasi tidak mengikis nilai kemanusiaan. Orang Melayu percaya bahwa adat adalah warisan yang “tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas”. Penting untuk dipahami bahwa menjaga adat bukan berarti menolak kemajuan.
Sebaliknya, adat justru dapat menjadi landasan pembangunan yang berkeadilan. Dengan adat, pembangunan bisa diarahkan untuk memuliakan manusia, bukan sekadar mengejar materi. Politik pun diarahkan untuk menyejahterakan rakyat, bukan memperkaya kelompok tertentu.
Seperti pepatah Melayu yang begitu terkenal, “Biar mati anak, jangan mati adat.” Ungkapan ini menegaskan betapa pentingnya menjaga warisan leluhur. Hilangnya adat berarti hilangnya jati diri, dan hilangnya jati diri berarti kehilangan arah dalam kehidupan.
Kini, tantangan terbesar adalah menanamkan kembali nilai adat pada generasi muda Tanjung Jabung Timur. Mereka harus dididik bukan hanya dengan kecerdasan intelektual, tetapi juga dengan kecerdasan budaya. Dengan begitu, adat istiadat akan tetap tegak, etika tetap hidup, dan marwah Melayu tetap terjaga di tengah gelombang perubahan zaman.