Opini  

Abrasi Budaya Ancam Masyarakat Desa

SELOKO.ID/Istimewa.
SELOKO.ID/Istimewa.

Oleh Dedi Saputra, S.Sos (Aktivis Gerakan Reformasi Daerah)

Budaya Lokal atau Kearifan lokal yang menjadi kekayaan tanpa batas yang dimiliki oleh masyarakat desa, mestinya harus menjadi dinding penyanggah dari proses Abrasi Kebudayaan luar yang kian mengikis bahkan menghilangkan kebudayaan lokal itu. Padahal budaya lokal merupakan sumber nilai, etos, moral dan pengetahuan yang tertanam dalam sistem bahasa, ideologi, tradisi dan adat istiadat yang menjadi acuan masyarakatnya didalam bersikap dan bertingkahlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Kita harus sadar dan saling menyadari, bahwa kita harus kembali memperkuat atau merevitalisasi budaya-budaya lokal, agar searah dalam program pemberdayaan masyarakat desa dalam menyonsong modernisasi dan industrialisasi yang kian mengancam keberadaan budaya lokal tersebut.

Budaya lokal yang menjadi identitas kolektif merupakan sumberdaya masyarakat yang bisa dipakai sebagai kekuatan bersama, untuk mengembangkan modal sosial yang handal guna mempercepat kemandirian masyarakat diberbagai sektor kehidupan, terutama masyarakat perdesaan.

Hari ini kita bisa melihat dan merasakan sendiri betapa budaya lokal atau kearifan lokal diperdesaan kian memudar. Budaya desa sedang mengalami proses kemunduran sehingga mengancam eksistensi orang perdesaan diberbagai bidang. Saat ini budaya desa didorong untuk memasuki proses perubahan dari budaya lokal menuju global, dari budaya agraris ke industri dan dari budaya tradisional ke budaya modern. Namun fakta dilapangan bukan kemajuan yang didapatkan, justru gejala kemunduran yang dikenal istilah sebagai erosi, involusi dan marginalisasi budaya.

Akibat dari itu semua, masyarakat dipedesaan mengalami keterpurukan. Misalnya dibidang ekonomi, orang desa dekat dengan kemiskinan yang mempunyai prinsip ekonomi moral tetapi tidak bisa membawa kemajuan ekonomi. Dibidan sosial, solidaritas orang dipedesaan yang tinggi kini kian rapuh yang diikuti dengan memudarnya nilai-nilai kesetiakawanan dan gotong royong. Sementara itu dibidang politik, orang desa selalu menjadi komoditi politik, tetapi tidak memiliki akses yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Maka dari itu, proses erosi, involusi dan marginalisasi budaya adalah ancaman serius bagi masa depan generasi muda terutama yang tumbuh diwilayah pedesaan. Kalau kita lihat saat ini lunturnya budaya lokal atau terjadinya erosi budaya akibat dari budaya baru yang ditelan mentah-mentah oleh masyarakat desa yang berdalih sebagai masyarakat sosial yang terbuka atau mengikuti tren masa kini. Sementara itu, involusi budaya terjadi diakibatkan mandegnya proses evolusi budaya di tengah masyarakat secara searah yang membawa perubahan atau transformatif kearah yang lebih baik. Akibat dari itu semua, maka terjadilah marginalisasi budaya atau keberadaan budaya lokal atau kearifan lokal setempat tidak lagi menjadi sebuah kekuatan untuk memberdayakan, melainkan justru menjadi beban bagi masyarakat untuk melestarikannya.

Namun demikian, bukan berarti masyarakat pedesaan harus menutupi diri dari pengaruh luar atau mensterilkan budaya luar untuk masuk kedalam pedesaan. Namun harus sesuai dengan kontekstual dengan permasalahan kekinian dan mampu mengembangkan proses transformasi budaya secara selektif, agar bisa menjadi suatu yang bernilai dan bermanfaat bagi masyarakat desa di masa depan.

Di lingkungan komunitas pedesaan, keberadaan budaya lokal bukan saja penting sebagai kerangka acuan moral yang memainkan peran untuk mengawasi individu-individu yang hadir bersamaan rasionalisasi, namun keberadaan budaya lokal merupakan identitas murni sebuah pedesaan tersebut.

Ingat, Ketiadaan dan memudarnya kearifan lokal seperti hubungan patron-client atau Ikatan persaudaraan yang kuat ini, jangan heran jika kemudian hari melahirkan keresahan dikalangan masyarakat desa, terutama yang merasa diperlakukan tidak adil.

Oleh karena itu, Program Pemberdayaan yang sedang dijalankan oleh Pemerintah melalui pemerintahan desa harus memperkuat Budaya lokal dan melestarian kearifan lokal tersebut. Para elite-elite desa dalam konteks otonomi desa diharapkan bukanlah menjadi komprador baru di perdesaan yang justru mengisap kekayaan desa dan masyarakatnya untuk kepentingan individu dan golongan.

Tetapi, sebaliknya elite-elite desa benar-benar memerankan diri sebagai penjaga dan sebagai perantara dalam mempertahankan kearifan lokal dengan berbagai cara, seperti membangun sanggar-sanggar kebudayaan, menghidupkan kembali budaya “Ringan Sama dijinjing Berat Sama di Pikul“, melestarian budaya lokal dan tetap mempertahankan Budaya lokal sebagai nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.