Oleh: Dedi Saputra,S.Sos.,M.I.Kom (Akademisi Univ. Nurdin Hamzah Jambi)
SELOKO.ID, Opini- Debat pertama Calon Gubernur Jambi yang berlangsung tadi malam seharusnya menjadi ajang kompetitif bagi dua kandidat untuk mempresentasikan visi, misi, dan solusi konkret terkait isu-isu strategis Provinsi Jambi.
Namun, debat kali ini justru melenceng dari harapan, karena kedua kandidat Al Haris sebagai petahana dan Romi Hariyanto sebagai penantang tidak menunjukkan argumentasi kuat yang menggugah keyakinan publik.
Terlepas dari konsep debat yang harus di kritisi, permasalahan utama terletak pada kurangnya substansi dalam paparan dua kandidat, yang membuat debat ini hanya menjadi seremonial dan tontonan belaka, alih-alih sebagai tuntunan bagi pemilih dalam menentukan pilihan.
Dari perspektif empiris, sikap Al Haris yang lebih mengandalkan klaim-klaim generik tanpa penyajian data konkret menunjukkan kegagalan dalam mengukuhkan pencapaiannya sebagai petahana.
Menurut teori political Accountability, pemimpin yang tengah menjabat seharusnya mampu mempertahankan posisi dengan menunjukkan bukti-bukti keberhasilan yang tak terbantahkan.
Dengan mengangkat data pembangunan dan capaian nyata, Al Haris seharusnya dapat menciptakan narasi keberlanjutan yang kuat dan menantang klaim perubahan dari penantangnya. Alih-alih demikian, ia terkesan bermain aman dengan retorika yang tidak memberi jawaban memuaskan atas isu-isu riil di Provinsi Jambi, seperti masalah ketimpangan pembangunan, infrastruktur yang belum merata, dan ekonomi yang stagnan.
Di sisi lain, Romi Hariyanto sebagai penantang juga tidak tampil dengan argumentasi kuat yang bisa mengguncang posisi petahana. Berbeda dengan Al Haris, Romi seharusnya mengusung misi perubahan dengan komitmen yang kuat terhadap solusi-solusi alternatif, yang didukung oleh kritik tajam terhadap kebijakan petahana.
Berdasarkan teori agenda-setting dalam komunikasi politik, misi perubahan dari kandidat penantang harus bisa membingkai ulang fokus publik terhadap kebutuhan baru yang mendesak, seperti peningkatan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi.
Dengan kata lain, Romi idealnya mampu menciptakan pembeda yang jelas melalui kritik tajam berbasis data atas kinerja petahana. Namun, minimnya argumentasi berbasis bukti yang ia tampilkan hanya memperkuat persepsi bahwa kedua kandidat gagal memenuhi ekspektasi publik Jambi terhadap debat ini.
Debat yang terjebak dalam permukaan ini menjadi ironis, mengingat masyarakat memandang debat kandidat sebagai instrumen penting dalam menentukan pemimpin mereka, terutama dalam konteks di mana pemilih kerap mengandalkan debat untuk menilai kualitas calon.
Dalam Teori issue ownership mengemukakan bahwa, pemilih cenderung mendukung kandidat yang menunjukkan kepedulian nyata terhadap isu-isu spesifik yang relevan dengan kebutuhan mereka.
Ketika kandidat gagal menyentuh isu utama, seperti pembangunan berkelanjutan atau pengurangan kemiskinan, debat hanya menjadi sekadar simbolis tanpa substansi yang memberikan tuntunan bagi pemilih dalam menentukan pemimpin masa depan mereka.
Hal ini juga menunjukkan ketidakmatangan dalam konsep debat itu sendiri. Format debat seolah hanya menjadi ajang formalitas tanpa diiringi oleh aturan yang mampu memaksa kandidat membahas substansi permasalahan.
Ketika debat hanya menampilkan adu argumen dangkal, masyarakat pada akhirnya tidak akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait arah kepemimpinan masing-masing kandidat. Kualitas debat yang tidak substantif juga menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas penyelenggara dalam menciptakan iklim politik yang sehat dan berorientasi pada pemecahan masalah.
Dengan format yang demikian, debat pertama ini telah gagal menjawab kebutuhan pemilih yang mendambakan kepastian. Menurut teori retrospective voting, pemilih akan cenderung mendukung kandidat berdasarkan evaluasi kinerja masa lalu atau visi masa depan yang relevan dengan situasi mereka saat ini.
Namun, debat kali ini justru menyuguhkan retorika generik yang tidak menyentuh isu-isu mendasar. Pemilih yang mengharapkan perubahan atau keberlanjutan yang nyata, tentu kecewa karena tidak melihat adanya argumen kuat dan berbobot yang menunjukkan keunggulan salah satu kandidat dalam memimpin Provinsi Jambi ke arah yang lebih baik.
Sebagai penutup, debat yang tidak menyentuh substansi ini telah mencerminkan sebuah ajang politik yang lebih mirip dengan seremonial belaka ketimbang wadah edukatif bagi publik. Kedua kandidat, Al Haris dan Romi Hariyanto, perlu lebih serius dalam membangun argumentasi berbasis data dan konsep yang mendalam untuk merebut hati publik. Jika tidak, debat hanya akan menjadi sekadar tontonan tanpa memberikan tuntunan yang layak bagi pemilih, yang sejatinya menginginkan bukti konkret akan masa depan Provinsi Jambi yang lebih baik.