Opini  

Mengintip Ambiguitas Media Sosial

Dedi Saputra, S.Sos (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik. Univ. Paramadina)
Dedi Saputra, S.Sos (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik. Univ. Paramadina)

Oleh : Dedi Saputra, S.Sos
(Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik. Univ. Paramadina)

SELOKO.ID- Dunia saat ini berada dalam situasi yang tidak pasti karena beberapa perubahan penting. Salah satunya adalah disrupsi teknologi akibat era revolusi industri keempat, yang disebut era 4.0. Revolusi industri ini didukung oleh perkembangan teknologi cyber-physical yang memungkinkan interaksi manusia-mesin.

Selain masalah disrupsi digital, ada juga perubahan generasi. Generasi milenial kini telah menjadi pemain dan pengambil keputusan terpenting di pasar. Karakteristik mereka yang unik dan sangat berbeda dengan generasi sebelumnya telah mengubah gaya hidup dan kebiasaan masa kini. Kebiasaan belanja masyarakat telah berubah karena generasi milenial cenderung mengutamakan gaya hidup dan pengalaman dalam segala aspek kehidupannya. Hal ini tercermin dari meningkatnya penggunaan internet dan perubahan pola penggunaan media.

Dalam bukunya Marx in the Age of Digital Capitalism, Vincent Mosco mengidentifikasi dua perspektif tentang dunia digital. Perspektif pertama adalah melihat dunia digital (media sosial) sebagai ruang publik yang deliberatif secara demokratis. Dalam hal ini, setiap orang dapat menerima informasi, bebas mengungkapkan pendapat atau gagasan, dan berpartisipasi aktif dalam diskusi publik tentang isu-isu umum. Pandangan lain adalah melihat dunia digital dikendalikan oleh perusahaan digital global dan badan intelijen pemerintah.

Paparan di atas menyadarkan kita bahwa kehadiran era digital atau media sosial saat ini seperti dua sisi mata uang yang sama, tidak hanya membawa peluang, tetapi juga tantangan baru di sisi lain.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab sebelum kita terlalu jauh membahas tentang keberadaan media sosial. Karena penggunaan media sosial sudah begitu masif dan meluas, kita belum sepenuhnya mendefinisikan apa sebenarnya media sosial itu. Kesulitan dalam mengolah dan menangani media sosial bersumber dari ketidakjelasan status media sosial itu sendiri.

Media sosial dalam praktiknya mencerminkan ambiguitas antara ruang privat dan publik, antara institusi sosial dan institusi ekonomi, antara sarana komunikasi individu, antara komunikasi kelompok atau komunikasi massa.

Bagi sebagian orang, media sosial seperti facebook, instagram, twitter, whatsapp diimpikan sebagai komunikasi interpersonal atau berkelompok dimana setiap orang dapat berbicara sesuka hati, bergosip tentang orang lain dengan bebas, mengabaikan perasaan orang tersebut dan dampak publik lainnya.

Masalahnya, media sosial adalah ruang untuk berkomunikasi antar manusia dan untuk kelompok dan massa, inilah ambiguitas pertama. Inilah keunikan dan kebaruan media sosial. Sebuah revolusi melalui media sosial, dimana dengan cara ini batasan komunikasi antara orang, kelompok, publik dan massa dapat dihapuskan. Tiba-tiba kecaman kita yang terang-terangan terhadap seseorang menjadi viral di media sosial dan berubah menjadi debat publik panjang yang bahkan dikutip oleh media arus utama keesokan harinya. Sudah terlambat bagi pengguna media sosial untuk menyadari bahwa ucapan di media sosial sulit atau tidak mungkin dihapuskan. Ini adalah sifat yang melekat pada media sosial, yaitu tidak dapat diprediksi dan tidak dapat diubah.

Ambiguitas selanjutnya adalah status media sosial baik sebagai ruang privat maupun ruang publik. Media sosial adalah ruang publik karena prevalensi dan skala jaringannya, dan banyaknya orang yang berpartisipasi dalam diskusi. Namun, dari jenis media sosial yang berekspresi spontan, verbal, egaliter, dan langsung, media sosial adalah ruang privat. Ambiguitas ini menimbulkan kebingungan tentang standar etika mana yang digunakan sebagai acuan interaksi atau komunikasi media sosial. Tentu ada perbedaan antara etika percakapan pribadi dengan satu atau dua orang dan etika berbicara di depan umum.

Ambiguitas di atas berdampak sistemik. Secara etis, tidak jelas standar etika mana yang harus diterapkan di media sosial. Apa etika komunikasi antar orang, khalayak, kelompok atau massa? Juga tidak jelas bagaimana seharusnya hukum memperlakukan media sosial sebagai ruang publik atau privat, media massa atau media alternatif? Efek perkembangan selanjutnya adalah situasi nol dalam arti tidak ada standar etika dan hukum khusus untuk pengoperasian media sosial. Tanpa standar etika yang jelas, praktik komunikasi di media sosial cenderung mengarah kepada kekacauan. Terjadi kebingungan dalam masyarakat tentang standar etika dan moralitas mana yang mesti digunakan.

Penyampaian pesan, diskusi, dan silang pendapat di media sosial tentang isu politik di media sosial telah sedemikian rupa mengabaikan hal yang fundamental dalam berkomunikasi. Penghormatan kepada orang lain, empati, kepada lawan bicara, antisipasi atas dampak ujaran atau pernyataan kian terabaikan. Pada prinsipnya, praktek berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap, serta bertanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak kita sampaikan.

Namun, hal yang terjadi di media sosial dewasa ini adalah tren yang sebaliknya. Begitu mudah orang melampiaskan kemarahan atau opini negatif tanpa memikirkan perasaan orang lain. Begitu mudah orang memojokkan dan menghakimi orang lain tanpa berpikir pentingnya memastikan kebenaran informasi atau analisis tentang orang tersebut. Inilah tantangan yang terbesar harus diselesaikan oleh bangsa ini, agar ini tidak menjadi ancaman nyata bagi disintegrasi bangsa Indonesia yang kita cintai ini. (*)