Opini  

Politik Media dalam Iklim Demokrasi

Oleh: Dedi Saputra,S.Sos (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Politik)

OPINI- Politik media berbeda dengan sistem lain seperti politik birokrasi, politik partai, dan politik legislatif. Orientasi politik media dianggap sebagai manifestasi dari pilar keempat demokrasi dalam interaksi antara media dan pemerintah itu sendiri. Kami percaya bahwa semakin bebas media, semakin tinggi nilai-nilai demokrasi di negara tersebut yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat.

Pasca reformasi, media Indonesia memiliki kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang. Idealnya, negara demokrasi memberikan kebebasan kepada media. Semakin independen pers, semakin besar kebebasan media dan semakin besar kontribusinya terhadap perkembangan politik untuk mencapai transisi menuju demokrasi. Pemerintahan yang demokratis menjadikan media sebagai ruang publik dan tempat diskusi bersama.

Saat ini, banyak orang menganggap politik media sebagai sistem politik yang berbeda dengan sistem lainnya seperti sistem politik legislatif, politik yudisial, politik partai, dan politik birokrasi. Perbedaan ini bermula dari kenyataan bahwa politisi bebas memperluas privasi dan publisitas mereka melalui media. Seorang politikus dapat mengendalikan masyarakat meskipun hanya berada di ruang kerja tanpa harus bertemu langsung. Seperti yang dijelaskan oleh McLuhan dalam Littlejohn (2002), media dianggap sebagai perpanjangan dari pikiran manusia dan kecenderungan yang paling penting dalam setiap sejarah, yang tampaknya menjadi media yang dominan pada saat itu. Politisi semacam itu sebenarnya bertindak sebagai aktor politik media.

Berbicara tentang perilaku politik yang sebenarnya, biasanya dapat dipahami sebagai tindakan seseorang (masyarakat) atau sebagai reaksi terhadap rangsangan yang berkaitan dengan proses politik. Menurut Surbakti (2010), perilaku politik adalah suatu bentuk aktivitas yang terkait dengan proses pengambilan keputusan politik.

Politik media pada dasarnya adalah kebebasan pers; kebijakan media secara umum dipahami sebagai upaya untuk menciptakan kebebasan media, kebebasan informasi, kebebasan menyampaikan ide, gagasan, pendapat dan pemikiran (Hermin, 2007). Politisi menggunakan prinsip dasar ini untuk mengkaji hubungan antara kepentingan politik dan media. Para aktor politik berusaha memaksimalkan penggunaan media untuk kepentingan politiknya.

Peran media massa telah ditunjukkan dalam berbagai gerakan masyarakat (kekuatan rakyat) terhadap negara atau pemerintahnya. McCargo (1999) melaporkan dalam tulisannya kasus-kasus di negara-negara Asia Tenggara yang menunjukkan peran media dalam menggulingkan pemerintah. Misalnya, pada tahun 1986, Presiden Marcos dicopot dari jabatannya di Filipina. Pada tahun 1992, pemerintahan Suchinda Krapyoon digulingkan, dan pada tahun 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari Istana Negara.

Melihat peristiwa gerakan rakyat, dapat dipahami bahwa kebebasan media berdampak luar biasa terhadap perubahan situasi politik negara. Semakin independen media, semakin banyak kebebasan yang dibutuhkan jurnalis untuk memengaruhi perubahan politik secara positif dan mendukung transisi menuju demokrasi.

Mengingat peran media yang terlibat dalam berbagai tindakan dan proses politik negara, tidak mengherankan jika publik mempersepsikan media sebagai aktor politik. Apalagi ketika ada anggapan bahwa media seolah-olah membela kepentingan pemerintah atau partai politik tertentu. Wartawan tidak menyukai anggapan tersebut, sehingga mereka berusaha mendorong masyarakat untuk membuang pemikiran tersebut. Meski upaya itu dinilai cukup berhasil, namun sangat sulit bagi publik untuk membedakan peran media sebagai institusi politik atau sebagai aktor politik.

Dan pada akhirnya peran media sangatlah penting dalam iklim demokrasi dan menjaga kepercayaan publik. Diharapkan peran politik media bisa meningkatkan kualitas demokrasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban berdasarkan dasar negara Pancasila. (*)