Oleh : Dedi Saputra, S.Sos.( Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Politik)
SELOKO.ID – Sebentar lagi kita akan kembali Melaksanakan Perhelatan Demokrasi akbar serentak 2024, kita akan memilih para wakil rakyat sebagai Demokrasi Keterwakilan yang sedang kita jalani saat ini. Dalam perhelatan tersebut, salah satunya adalah kita akan memilih para Calon Legislatif(Caleg) yang telah diusung oleh partai politik.
Sangat menarik untuk kita telaah fenomena Pencalegan saat ini, ditengah masyarakat jarang kita mendengar masyarakat membicarakan Para Caleg yang memiliki Integritas, Kapabilitas dan Memiliki pengalaman yang luas untuk diperjuangkan, Yang muncul justru para caleg “Karbitan” yang tiba-tiba muncul dibaleho sebagai caleg, padahal secara latar belakang Pendidikan dan pengalaman bisa dikatakan belum mumpuni untuk duduk di gedung Kehormatan tersebut.
Fenomena ini sebenarnya bukan muncul tanpa sebab, pihak yang pertama musti kita protes dan kita pertanyakan adalah Partai politik, karna partai politiklah yang melakukan seleksi sehingga para Caleg tampil dihadapan Masyarakat. Sebenarnya yang membuat masyarakat jenuh bukan latar belakang sang Caleg, karna setiap warga negara Indonesia memiliki Hak untuk memilih dan dipilih yang melekat pada dirinya sebagai warga negara. Hanya saja model dadakan dalam pencalegan ini yang menjadi persoalan ditengah masyarakat.
Menjadi Wakil Rakyat bukan ajang uji coba, bukan ajang mencari Pekerjaan, dan bukan mencari kekayaan. Menjadi Wakil Rakyat sejatinya adalah amanah kekuasaan yang sangat serius. Jabatan tersebut tidak bisa dipegang oleh orang yang sedang belajar, minim pengalaman dan kader “karbitan” alias hanya pegang kartu Partai pada Saat mencalonkan diri saja. Karna ini adalah Amanah dan memiliki konsekuensi yang besar dalam mengemban aspirasi masyarakat selama lima Tahun, maka perlu kesungguhan dalam menyiapkan diri sebelum mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Kembali lagi bahwa, setiap Caleg yang diajukan partai seharusnya memiliki kompetensi intelektual, moral dan sosial. Partai seharusnya bukan semata-mata hanya merebut kursi kekuasaan tanpa mempertimbangkan Kompetensi sang Caleg. Partai tidak boleh hanya mempertimbangkan Pencalegan dengan alasan Pragmatis, yang penting sang Caleg dari Keluarga Tokoh ataupun Keluarga Tokeh(Pemilik Modal).
Akhirnya, akibat proses Politik yang instan dan pragmatis itu, para Caleg bergentayangan ditengah masyarakat dimasa kampanye memperkenalkan diri sembari membawa sembako, memainkan politik uang, memberikan tekanan yang dibawah kendalinya. Hampir minim yang memperkenal diri dengan nilai Intelektualnya, moralnya dan pengalamanya sehingga betul-betul mampu mengemban amanah masyarakat.
Saatnya semua elemen demokrasi termasuk Partai Politik berfokus kepada aspek substansial dari kontestasi elektoral. Satu dari hal substansial itu adalah sistem rekrutmen dan kualitas calon anggota legislatif(caleg) yang diusungkan.
Selama ini para analis politik bernada pesimis menyangkut modernisasi dalam pengelolaan partai politik di Indonesia. Dirk Tomsa,(dalam Aspinall dan Mietzner, 2010) mendeteksi keberadaan partai politik yang dikelola secara kurang profesional dan kurang mengakar di indonesia. Hal senada juga diungkap oleh Paige Johnson Tan(dalam Gun Gun Hariyanto,2018) yang menggambarkan sistem kepartaian indonesia sedang berada di dalam proses deinstitusionalisasi dan memprediksi bahwa partai-partai akan melemah dengan cara yang tidak jelas. Ungkapan pesimis ini bisa kita maklumi jika kita melihat praktek partai di akar rumput saat ini.
Padahal, jika semuanya menyadari dan memahami bahwa posisi partai politik sangatlah strategis dan penting. Partai merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi. Kedepan partai politik harus berbenah dan memberesi rumah tangga partai yang kian memburuk, partai politik harus membuang persepsi masyarakat bahwa partai politik itu selalu berdekatan dengan Feodal, Oligarkis dan transaksional.
Masih banyak partai-partai ditingkat bawah masih berkarakter Feodal(ketergantungan dengan tokoh utamanya) Karakter Oligarkis juga melanda partai yaitu hanya dari dan oleh segelintir elite politik yang mengendalikanya, seolah seperti politik warisan kekuasaan. Dan terakhir adalah Politik Transaksional yang masih menghantui di tubuh partai politik karna disebabkan pragmatisnya partai politik dalam memainkan peran, posisi dan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Partai dalam sistem demokrasi merupakan elemen penting yang harus eksis dan kuat. Pemimpin dan calon pemimpin seharusnya tumbuh dari “rahim” partai yang sehat dan berdaya. Jika partai tidak mampu menghasilkan kader Caleg yang mumpuni sebagai seorang legislator maka kedepannya kita akan semakin sulit mendapatkan pemimpin dan calon pemimpin dari kader murni partai politik, jika prosesnya serba instan, pragmatis dan transaksional.
Kita berharap masyarakat Demokrasi harus mempunyai filter sendiri dalam menyeleksi para Caleg yang disuguhkan oleh partai, masyarakatlah menjadi penyaring terakhir dari proses perpolitikan yang dianggap Feodal, Oligarkis dan transaksional itu. Jika masyarakat pada akhirnya masa bodoh dan ikut-ikutan pragmatis maka apa yang disebut dengan “Demokrasi Bayangan” ada didepan mata. (*)