Dedi Saputra, S.Sos.
Aktivis dan Penggiat Media Sosial
Berbagai problem kemiskinan dan kesenjangan secara ekonomi, politik dan sosial terjadi ditengah masyarakat desa.
Pertanyaan yang kerap muncul dibenak kita adalah apakah itu semuanya sudah menjadi takdir?, kemudian sempitnya kesempatan atau etos kerja yang kurang?.
Menurut saya tidak, kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi buah dari pemiskinan, bagian dari ketimpangan struktural secara ekonomi politik.
Negera selalu menjadikan desa sebagai objek pemberdayaan dan pembangunan, sekaligus sebagai objek politik etis dan membuang bantuan.
Bantuan kerap digunakan untuk mobilisasi (eksploitasi) masyarakat desa guna mendapatkan kesuksesan program pembangunan.
Partisipasi politik masyarakat desa sengaja dikebiri, sementara suara mereka yang cukup banyak selalu menjadi sasaran empuk mobilisasi politik oleh kekuatan politik, melalui pesta demokrasi lima tahunan atau Pilkada.
Sementara disisi lain, para pemilik modal terus melakukan eksploitasi terhadap hamparan tanah desa dan penduduk sebagai tenaga kerja serabutannya.
Padahal, desa merupakan local self goverment yang otonom. Desa sudah memiliki institusi dan tradisi demokrasi meskipun masih lemah dan kadang terdistorsi.
Demokrasi di tingkat desa berupaya membuat pemerintah desa lebih akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Lemahnya basis sosial ditengah masyarakat desa seperti kepemimpinan, lembaga sosial, organisasi lokal dan lain-lain, pemerintah desa harus menjalankan tugas birokratisasi negara.
Saat ini paradigma itu berubah, kepala desa terlihat tidak lagi menjadi pemimpin masyarakat desa seutuhnya, melainkan berubah menjadi bawahan camat maupun bupati.
Selain itu, para pemangku adat atau lembaga adat mulai dikesampingkan perannya dan di dominasi oleh perangkat desa, yang membuat terjadi ketimpangan dalam mengambil kebijakan terutama dalam desa adat.
Dari sisi budaya, budaya desa mengalami erosi akibat dari campur tangan negara, pemodal dan globalisasi. Budaya desa yang mulai terkikis itu perlahan akan hilang akibat kesalahan paradigma dalam membangun masyarakat pedesaan.
Padahal budaya desa berfungsi sebagai kekuatan kolektif dan modal sosial serta sebagai identitas dan kebanggan atas budaya desa.
Berbagai pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam membangun masyarakat pedesaan, namun yang tergambar selama ini adalah pendekatan dengan sistem top-down.
Padahal menurut Albert Waterson bahwa sistem pendekatan top-down dalam pembangunan tidak akan berhasil dalam memenuhi kebutuhan sosial masyarakat miskin dipedesaan. Dan strategi yang menfokuskan pada pertanian sendiri hanya menambah kekayaan bagi petani yang telah kaya, karna petani kaya yang mampu membeli input pertanian dan merekalah yang menikmati program pertanian itu sendiri.
Meskipun demikian, ketika otonomi daerah bergulir sejak 1999, pola perencanaan pembangunan mengalami perubahan.
Daerah memiliki kewenangan untuk merencanakan pembangunan daerah sendiri (local self planing). Pola pembangunan dari bawah keatas masih digunakan, yaitu dimulai dengan perencanaan dari desa yang kemudian dibawa ke kabupaten.
Meskipun tampaknya sudah banyak perubahan, atau sudah ada sprit baru yang masuk kedalam proses perencanaan, tetapi tetap saja masih banyak distorsi seperti perencanaan sebelumnya.
Salah satunya yaitu, perencanaan hanya bersifat elitis dan partisipasi sangat terbatas. Dari tingkat bawah, proses dan isi perencanaan pembangunan masih bersifat elitis, masih didominasi oleh aktor-aktor formal.
Kepala desa sangat mendominasi proses perencanaan di tingkat desa, dia lebih menentukan apa saja yang bakal tertuang dalam naskah perencanaan pembangunan desa, sebelum dibawa ke level kecamatan, partisipasi masyarakat masih terbatas.
Selanjutnya, penentuan skala prioritas juga bersifat elitis, bisa perefensi elit dan bias kabupaten.
Substansi perencanaan cenderung sebagai bentuk referensi kepala desa beserta elit desa, ketimbang sebagai kebutuhan riil masyarakat.
Biasanya referensi kades cenderung bias (bukan prioritas) pada pembangunan prasarana fisik, sebab bidang ini mengandung “Proyek”, sekaligus merupakan kesempatan baik untuk memobilisasi swadaya masyarakat, serta menjadi indikator prestasi kepemimpinan kepala desa.
Demikianpun ketika masuk di kabupaten, distorsipun juga terjadi dalam penentuan prioritas.
Banyak kisah menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu kenapa program pembangunan yang mereka usulkan tidak dilanjuti oleh kabupaten. Terakhir, perencanaan dari bawah tidak lebih sebagai mata rantai birokrasi yang membuat desa tergantung pada kabupaten.
Secara empirik maupun formal, desa bukanlah wilayah pembangunan otonom, yang menerima desentralisasi politik, pembangunan dan keuangan.
Dalam prakteknya, proses perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota berjalan secara mekanis yang tidak berbasis pada partisipasi dari desa.
Blue print perencanan pembangunan tahunan maupun lima tahunan, sebenarnya sudah dirumuskan lebih dahulu bappeda, termasuk perencanaan sektoral dari dinas-dinas teknis, yang kemudian disosialisasikan kepada pendatang dari desa.
Apa yang diusulkan dari desa dalam musrenbang hanya formalitas, sehingga dalam konteks ini terjadi reduksi dan manipulasi. Pada akhirnya masyarakat desa kehilangan esensi nilai, budaya dan etos kerjanya. Semuanya terkurung dalam politisasi kepentingan belaka.